Mengendalikan
Fitoplankton Di Waduk dan Danau
Kegiatan akuakultur secara umum telah diketahui
telah menimbulkan dampak pada ekosistem perairan. Dampak akuakultur terhadap
ekosistem dimulai dari pembukaan lahan, penempatan wadah budidaya, hngga proses
produksi. Dampak akuakultur terhadap akosistem perairan berupa perubahan
habitat, struktur habitat, masuknya biota asing, dan jasad patogen.
1)
Pada budidaya kerang, hewan ini menyerap
makanan dengan cara menyaring air (filter feeder), yaitu bahan organik (100% N)
berupa plankton. Dari 100% N yang termakan, hanya sekitar 25% N yang diserap
dalam tubuh, sedangkan sisa metabolisme berupa kotoran sekitar 30% N akan
mengendap tersedimentasi di dasar, dan sekitar 45% N larut dalam air.
2)
Pada budidaya sistem KJA, dari 100% N dan 100%
P yang terkandung didalam pakan, maka 25% N dan 23% P yang diserap dalam tubuh,
sedangkan sisanya berupa kotoran maupun padatan yang tidak termakan, yaitu 13%
N dan 66% P akan mengendap serta 62% N dan 11% P akan larut dalam air.
Dampak lebih lanjut terjadinya hipernutrifikasi
pada perairan akibat adanya kegiatan budidaya perikanan seperti 2 contoh
kegiatan diatas, akan diikuti oleh perubahan ekologi seperti peningkatan
sedimentasi, silitasi, hypoxia, perubahan produktivitas fitoplankton, dan
struktur komunitas bentos. Dampak negatif yang lebih serius lagi akan
meningkatkan potensi pertumbuhan dan penyebaran mikroba dari golongan HAB (Harmfull Alga Bloom). Sedimentasi di
dasar perairan akan berpengaruh terhadap produktivitas organisme di dasar dan
terjadinya peningkatan konsumsi oksigen. Jika kebutuhan oksigen melebihi suplai
oksigen yang tersedia, maka akan berpengaruh buruk bagi organisme. Dalam
kondisi an-aerob, H2S, NH3 dan metan yang terakumulasi
dalam sedimen akan dilepas dan larut dalam air.
Beberapa spesies ikan telah digunakan sebagai
bio-kontrol yang potensial untuk fitoplankton, seperti ikan tilapia (Tilapia sp), mola (Hypophthalmichthys molitrix), karper kepala besar (Aristichthys nobilis), bandeng (Chanos chanos), karper rumput (Ctenopharyngodon idellus), jelawat (Leptobarbus hoevenii), dan gizzard shad
(Dorosoma cepedianum).
Belajar dari kematian ikan budidaya di waduk
dan danau baik karena pembalikan massa air (upwelling) maupun kekurangan
oksigen karena plankton blooms yang diakibatkan karena eutrofikasi, maka selain
dibatasi jumlah KJA sesuai dengan daya dukung, perlu juga diimbangi
diversifikasi jenis ikan budidaya. Ikan mola, jelawat dan bandeng perlu
dipelihara di waduk dan danau karena sebagai pengendali fitoplankton, pemakan
tanaman air, dan mengurangi sedimen organik serta pemakan bakteri, protozoa,
cacing, dan udang renik yang disebut microbenthic
biological complex.
Sumber : Artikel
diambil dari Buku “Pengelolaan Perikanan Indonesia : Catatan Mengenai Potensi,
Permasalahan dan Prospeknya”, M. Ghufran H. Kordi, Penerbit Pustaka Baru Press
: 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar