Penyuluh Perikanan

Penyuluh Perikanan
Pulau Tinggi

Minggu, 17 Desember 2017

Mengendalikan Fitoplankton Di Waduk dan Danau

Mengendalikan Fitoplankton Di Waduk dan Danau




Kegiatan akuakultur secara umum telah diketahui telah menimbulkan dampak pada ekosistem perairan. Dampak akuakultur terhadap ekosistem dimulai dari pembukaan lahan, penempatan wadah budidaya, hngga proses produksi. Dampak akuakultur terhadap akosistem perairan berupa perubahan habitat, struktur habitat, masuknya biota asing, dan jasad patogen.
1)    Pada budidaya kerang, hewan ini menyerap makanan dengan cara menyaring air (filter feeder), yaitu bahan organik (100% N) berupa plankton. Dari 100% N yang termakan, hanya sekitar 25% N yang diserap dalam tubuh, sedangkan sisa metabolisme berupa kotoran sekitar 30% N akan mengendap tersedimentasi di dasar, dan sekitar 45% N larut dalam air.
2)    Pada budidaya sistem KJA, dari 100% N dan 100% P yang terkandung didalam pakan, maka 25% N dan 23% P yang diserap dalam tubuh, sedangkan sisanya berupa kotoran maupun padatan yang tidak termakan, yaitu 13% N dan 66% P akan mengendap serta 62% N dan 11% P akan larut dalam air.

Dampak lebih lanjut terjadinya hipernutrifikasi pada perairan akibat adanya kegiatan budidaya perikanan seperti 2 contoh kegiatan diatas, akan diikuti oleh perubahan ekologi seperti peningkatan sedimentasi, silitasi, hypoxia, perubahan produktivitas fitoplankton, dan struktur komunitas bentos. Dampak negatif yang lebih serius lagi akan meningkatkan potensi pertumbuhan dan penyebaran mikroba dari golongan HAB (Harmfull Alga Bloom). Sedimentasi di dasar perairan akan berpengaruh terhadap produktivitas organisme di dasar dan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen. Jika kebutuhan oksigen melebihi suplai oksigen yang tersedia, maka akan berpengaruh buruk bagi organisme. Dalam kondisi an-aerob, H2S, NH3 dan metan yang terakumulasi dalam sedimen akan dilepas dan larut dalam air. 
 
Beberapa spesies ikan telah digunakan sebagai bio-kontrol yang potensial untuk fitoplankton, seperti ikan tilapia (Tilapia sp), mola (Hypophthalmichthys molitrix), karper kepala besar (Aristichthys nobilis), bandeng (Chanos chanos), karper rumput (Ctenopharyngodon idellus), jelawat (Leptobarbus hoevenii), dan gizzard shad (Dorosoma cepedianum).



Belajar dari kematian ikan budidaya di waduk dan danau baik karena pembalikan massa air (upwelling) maupun kekurangan oksigen karena plankton blooms yang diakibatkan karena eutrofikasi, maka selain dibatasi jumlah KJA sesuai dengan daya dukung, perlu juga diimbangi diversifikasi jenis ikan budidaya. Ikan mola, jelawat dan bandeng perlu dipelihara di waduk dan danau karena sebagai pengendali fitoplankton, pemakan tanaman air, dan mengurangi sedimen organik serta pemakan bakteri, protozoa, cacing, dan udang renik yang disebut microbenthic biological complex.


Sumber : Artikel diambil dari Buku “Pengelolaan Perikanan Indonesia : Catatan Mengenai Potensi, Permasalahan dan Prospeknya”, M. Ghufran H. Kordi, Penerbit Pustaka Baru Press : 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar