Penyuluh Perikanan

Penyuluh Perikanan
Pulau Tinggi

Minggu, 18 Februari 2018

Pentingnya Es Dalam Pengawetan Produk Hasil Perikanan

Pentingnya Es Dalam Pengawetan Produk Hasil Perikanan
  


Produk perikanan salah satu produk hewani yang memiliki banyak kelebihan bila dibandingkan dengan produk hewani lainnya, diantaranya adalah kandungan protein yang cukup tinggi, daging yang mudah dicerna, kandungan mineral lainnya. Namun demikian produk perikanan juga termasuk dalam satu produk pangan yang memiliki sifat mudah mengalami pembusukan (ferisable food). Untuk mengurangi kecepatan terjadinya proses pembusukan terhadap produk hasil perikanan perlu dilakukan sebuah langkah pengawetan yang salah satunya dilakukan dalam bentuk proses pendinganinan dengan menggunakan es sesaat setelah ikan ditangkap.


Karakteristik Es
Es mempunyai daya pendinginan yang sangat besar. Tiap 1 kg es yang meleleh pada 00C dapat menyerap panas sebanyak 80 kkal untuk melelehkan menjadi air 00C dan es mempunyai titik cair pada 00C. Pendinginan ikan hingga 00C dengan es dapat memperpanjang kesegaran ikan antara 12-18 hari. Proses pendinginan terjadi apabila es bersinggungan langsung dengan ikan dimana pada saat yang bersamaan ikan memindahkan panas kepada es, dan es menerima atau menyerap panas tersebut untuk digunakan dalam pencairannya. Proses pemindahan panas akan terhenti apabila ikan telah mencapai suhu es yaitu 00C, jika es telah habis dan air lelehan es itu telah sama suhunya dengan ikan. 

Penentuan Jumlah Kebutuhan Es Dalam Proses Pendingan Ikan
Apabila tidak ada faktor-faktor lain yang memengaruhi maka panas yang perlu diambil dari ikan setara dengan panas yang diserap oleh es untuk meleleh. Jumlah panas yang terlibat didalam proses pemanasan atau pendinginan dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Q = B x PJ x Dt
Keterangan :
Q    : Jumlah panas yang ditambahkan atau diambil (kkal)
B    : Berat benda yang dipanaskan atau didinginkan (kg)
PJ   : Panas jenis (kkal/kg/00C)
-      PJ ikan berkisar 0,6 – 0,8 kkal/kg/00C sesuai dengan kandungan airnya
-      Jika kandungan air tidak diketahui sebaiknya diambil nilai tertinggi 0,8
Dt   : Selisih antara suhu awal dengan suhu akhir (00C)
L    : panas laten, yang diperlukan untuk membentukan atau melelehkan (kkal/kg)

Contoh :
Jika air seberat 1 ton dengan suhu awal 220C akan didinginkan menjadi 00C, diketahui panas jenis ikan 0,8. Berapa jumlah es yang diperlukan ?

Jawab.
Panas yang dikeluarkan dari ikan untuk mendinginkan dari 220C menjadi 00C.
Q = 1.000 x 0,8 x (22-0)
    = 17.600 kkal
Berat es yang diperlukan
Q  = B x L
 17.600 = B x 80
B   = 17.600 : 80
     = 220 kg

Kesimpulan : Untuk mendinginkan ikan seberat 1 ton dari suhu awal 220C menjadi 00C, maka diperlukan es sebanyak 220 kg.


 Sumber :
    1)     Adawyah R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta

    2)     Bahan Tayang Direktorat Pengolahan Hasil, Ditjen P2HP. Penerapan GMP/ SSOP di UPI skala UMKM.

Rabu, 14 Februari 2018

Muhammad Zhafran Sidqi On Gallery

Muhammad Zhafran Sidqi

Father and son

Woow ...... ha..ha..h...

Kid-Rock

On The Plane

Waiting Room

Wonderfull Indonesia

Zoo .....

Tourism

Mengenal Sistem Traceability

Mengenal Sistem Traceability 

  
Sistem perdagangan pangan dunia telah menunjukan adanya dinamika perubahan gaya hidup manusia dalam mengonsumsi pangan diberbagai negara. Perubahan ini memungkinkan transportasi bahan pangan dalam jumlah yang sangat besar ke bagian dunia manapun dan memungkinkan timbulnya penyebaran penyakit karena mengonsumsi bahan pangan yang tercemar atau terkontaminasi (foodborne disease), baik pada produk pangan segar, segar beku, maupun olahan.
Salah satu konsep dan instrumentasi mutu dan keamanan pangan yang disarankan untuk mendukung dan penjamin mutu makanan adalah pemberian informasi lengkap mengenai posisi suatu produk dan jalur distribusi yang ditempuh sehingga memudahkan upaya pelacakan suatu produk. Konsep ini disebut Traceability system, menunjukan bahwa perhatian utama traceability dilandaskan pada kebutuhan untuk menarik produk pangan dari pasar, terutama terhadap produk yang diduga memiliki potensi bahaya terhadap kesehatan manusia.
  
The International Organization for Standarization (ISO) menyebutkan bahwa setiap organisasi atau industri harus membuat dan melaksanakan sistem traceability yang dapat mengidentifikasi unit produk dan kode batch produk yang menghubungkan rekaman bahan baku, proses, dan distribusi.

Manfaat penerapan sistem traceability
Perekaman data dan informasi pada setiap tahapan kegiatan penangkapan, pengolahan, distribusi, dan transportasi, termasuk penggunaan berbagai peralatan dan bahan selama kegiatan penangkapan, pengolahan, pengangkutan, perkapalan, serta pembongkaran di pelabuhan perikanan, dengan tujuan untuk mempermudah ddan memperjelas informasi kepada berbagai pihak terkait (otoritas, industri, masyarakat konsumen dan pihak terkait lainnya) sehingga mempermudah dan mempercepat pengambilan keputusan secara profesional. Pada sisi lain juga sangat penting pada pihak produsen dan konsumen terkait dengan kesehatan dan keamanan pangan untuk konsumsi manusia.

Definisi traceability menurut Codex Alimentarius (CAC/GL-2006) adalah kemampuan untuk mengikuti pergerakan dari makanan selama tahap proses produksi dan distribusi. ISO mendefinisikan traceability sebagai kemampuan untuk menelusur sejarah, aplikasi, atau lokasi dari suatu bahan serta catatan yang dapat menghubungkan produk dengan asal bahan dan sejarah proses serta distribusi produk. General Food Law Regulation 178 Uni Eropa pada Artikel 3 No. 15 mendefinisikan traceability sebagai kemampuan menelusuri makanan atau pakan atau bahan baku produksi makanan atau pakan pada setiap proses produksi dan distribusi. Uni Eropa General Food Law Regulation telah diberlakukan sejak 1 Januari 2005, regulasi ini mencakup elemen penting seperti aturan traceability dan penarikan produk berbahaya (Recall Procedures) yang terdapat di pasaran.

Tahapan Sistem Traceability
Penerapan sistem traceability dalam industri pengolahan dapat dijelaskan melalui beberapa tahapan yaitu analisis sistem, asesmen traceability, prosedur penarikan produk, serta dokumentasi dan perekaman data.
  1)    Analisis Sistem
Yaitu melakukan analisis prosedur yang ada dalam industri pengolahan ikan untuk menetapkan elemen apa yang telah ada dan memastikan langkah kunci dalam pengembangan sistem yang telah teridentifikasi.
  2)    Asesmen Traceability
Merupakan sebuah kegiatan penentuan kemampuan suatu prosedur dan perekaman yang mendukung penerapan sistem traceability di unit pengolahan.
Asesmen traceability di unit pengolahan dilakukan dengan menggunakan Traceability Decision Tree yang diawali dengan menjawab pertanyaan pada masing-masing proses produksi secara berurutan.
  3)    Prosedur Penarikan Produk
Akan terlihat manfaatnya pada saat suatu produk diketahui mengandung bahaya oleh pihak bersangkutan (penual dan pembeli), jika demikian produk akan ditarik dari peredaran maupun tahapan proses produksinya.
  4)    Dokumentasi Dan Perekaman Data
Setelah semua tahapan penerapan sistem traceability dilakukan, langkah selanjutnya adalah mendokumentasikan serangkaian kegiatan yang telah dilakukan sebagai arsip apabila kelak dibutuhkan. Rekaman mutu mewakili bukti bahwa prosedur mutu telah diterapkan pada produk dan jasa yang ditentukan. Rekaman harus aman dan sah, mudah diidentifikasi, dan mudah ditemukan.


Sumber : Latif Sahubawa, Teknik Penanganan Hasil Perikanan. UGM Press (2016). Artikel : Penanganan dan Peningkatan Mutu Produk Perikanan dengan Sistem Traceability, Hal. 131-146.

Minggu, 11 Februari 2018

Analisa Pertumbuhan Ikan Nila (Oreachromis niloticus) yang Dipelihara Pada Keramba Jaring Apung Dengan Kepadatan yang Berbeda

Analisa Pertumbuhan Ikan Nila (Oreachromis niloticus) yang Dipelihara Pada
Keramba Jaring Apung  Dengan Kepadatan yang Berbeda 

 
 Ikan Nila (Oreachromis niloticus) adalah termasuk salah satu jenis ikan air tawar yang sangat potensial dibudidayakan secara intensif di Keramba Jaring Apung (KJA). Ikan nila memiliki sifat biologis yang menguntungkan diantaranya pertumbuhan cepat, pemakan segala bahan makanan (omnivora), daya adaptasi yang luas, toleransi yang tinggi terhadap keadaan lingkungan, dan lebih tahan terhadap serangan penyakit. Keramba jaring apung berfungsi sebagai wadah untuk pemeliharaan ikan agar tidak lepas dan melindungi ikan dari serangan predator dan segala gangguan lainya. Metode pemeliharaan ikan pada keramba jaring apung merupakan teknik akuakultur yang paling produktif, oleh karena itu banyak spesies ikan-ikan ekonomis yang dibudidayakan oleh masyarakat.


Pertumbuhan ikan nila sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya kepadatan. Pengaturan padata penebaran dilakukan untuk meminimalisir kompetisi atau individu ikan salah satunya kompetisi ruang gerak. Disamping pertumbuhan yang lebih baik, padat penebaran yang tepat juga dapat menurunkan angka mortalitas, sehingga diharapkan angka kelulusanhidupnya akan tinggi.
Padat penebaran akan menentukan tingkat intensitas pemeliharaan. Semakin tinggi padat penebaran berarti semakin banyak jumlah/ biomassa ikan per satuan luas maka akan semakin tinggi pula tingkat pemeliharaannya. Pada padat penebaran yang tinggi akan berdampak terhadap besarnya kebutuhan oksigen dan pakan serta buangan metabolisme seperti feses, amoniak, dan karbodioksida yang banyak.
Padat penebaran sangatlah tergantung pada jenis ikan, ukuran tebar, lama pemeliharaan, ukuran panen, dan tujuan pembesaran. Sehingga padat tebar ikan dalam tiap petak keramba jaring apung menjadi berbeda-beda. Padat penebaran produksi ikan konsumsi berbeda dengan produksi calon induk. Secara umum padat tebar ikan untuk pembesaran ikan konsumsi lebih tinggi dibandingkan pemeliharaan calon induk atau induk ikan.

 Penelitian dilakukan oleh Erma Yunita Islami, Fajar Basuki dan Tita Elfitasari yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepadatan yang berbeda dan untuk mengetahui kepadatan yang paling baik terhadap pertumbuhan, kelulusanhidup, dan efesiensi pemanfaatan pakan (EEP) pada ikan nila larasati (Oreochromis niloticus) yang dipelihara di KJA Wadaslintang.



Penelitian menggunakan metode eksperimental yang dilakukan di lapangan, rancangan percobaan yang dilakukan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan, sbb :
A = ikan nila dipelihara pada KJA dengan kepadatan 50 ekor/ m3
B = ikan nila dipelihara pada KJA dengan kepadatan 75 ekor/ m3
C = ikan nila dipelihara pada KJA dengan kepadatan 100 ekor/ m3
1.     Bobot Individu Mutlak
Menurut Effendi (1979) pertumbuhan bobot individu mutlak dapat dihitung dengan rumus :
W = Wt – Wo
W    = Pertumbuhan bobot individu mutlak (gr)
Wt   = Bobot ikan akhir (gr)
Wo  = Bobo ikan awal (gr)
Pengamatan pertumbuhan bobot mutlak menunjukan bahwa ikan nila yang dipelihara pada KJA dengan kepadatan 50 ekor/ m3 memiliki pertumbuhan tertinggi, yaitu sebesar 356,07±2,65, diikuti kepadatan 75 ekor/ m3 sebesar 297,45±5,13 dan kepadatan 100 ekor/ m3 sebesar 196,67±20,27.
2.     Laju Pertumbuhan Relatif
Menurut Effendi (1979) Laju Pertumbuhan Relatif dapat dihitung dengan rumus :
RGR = Wt – Wo x 100%
            Wo x t
RGR  = Relative Growth Rate (%)
Wo   = Bobo ikan awal (gr)
Wt    = Bobot ikan akhir (gr)
T       = Waktu (hari)
Berdasarkan pengamatan nilai laju pertumbuhan relatif (RGR) tertinggi pada ikan nila dengan kepadatan sebesar 5,73±0,02, diikuti kepadatan 100 ekor/ m3 sebesar 5,32±0,05 dan kepadatan 75 ekor/ m3 sebesar 4,48±0,43.
 Efesiensi Pemanfaatan Pakan
Menurut Tacon (1987) Efesiensi Pemanfaatan Pakan dapat dihitung dengan rumus :
EPP = Wt – Wo  x 100 %
                 F
EFP  = Efesiensi Pemanfaatan Pakan (%)
Wo   = Bobot ikan awal (gr)
Wt    = Bobot ikan akhir (gr)
T       = Waktu (hari)
Pengamatan Efesiensi Pemanfaatan Pakan menunjukan bahwa ikan nila yang dipelihara pada KJA dengan kepadatan 50 ekor/ m3 memiliki pertumbuhan tertinggi, yaitu sebesar 48,68±0,22, diikuti kepadatan 75 ekor/ m3 sebesar 35,32±0,38 dan kepadatan 100 ekor/ m3 sebesar 18,18±0,26.
3.     Kelulusanhidup
Menurut Effendi (1979) Kelulusanhidup dapat dihitung dengan rumus :
SR = No x100%
        Nt
SR   = Kelulusanhidup (100%)
No  = Jumlah ikan pada awal (ekor)
Nt   = Jumlah ikan pada akhir (ekor)
Pengamatan kelulusanhidup menunjukan bahwa ikan nila yang dipelihara pada KJA dengan kepadatan 50 ekor/ m3 memiliki pertumbuhan tertinggi, yaitu sebesar 98,62±0,61, diikuti kepadatan 75 ekor/ m3 sebesar 96,62±0,80 dan kepadatan 100 ekor/ m3 sebesar 97,67±0,38.


Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan kesimpulan bahwa perbedaan kepadatan memberikan pengaruh nyata pada laju pertumbuhan relatif (RGR )dan efesiensi pemanfaatan pakan (EPP), tetapi tidak berpengaruh pada kelulusanhidup.  Kepadatan yang direkomendasikan untuk pembesaran ikan nila dalam KJA adalah 50 ekor/ m3 karena memberikan hasil nilai terbaik.
Sumber :
Artikel “Analisa Pertumbuhan Ikan Nila Larasati (Oreochromis niloicus) yang Dipelihara pada KJA Wadaslintang Dengan Kepadatan Berbeda oleh Erma Yunita Islami, Fajar Basuki dan Tita Elfitasari.

Journal of Acuaculture Management and Technology, Volume 2 Nomor 4 Tahun 2013. Halaman 115-121.