Penyuluh Perikanan

Penyuluh Perikanan
Pulau Tinggi

Jumat, 07 Desember 2018

Sistem Produksi & Pengawasan Mutu Kerupuk Udang


Sistem Produksi & Pengawasan Mutu Kerupuk Udang



Pendahuluan
Salah satu cara pengawetan udang adalah dengan mengubah bentuk udang mentah menjadi produk kerupuk dengan penambahan bahan-bahan lainnya. Kerupuk merupakan salah satu makanan olahan tradisional yang digemari di Indonesia. Kerupuk dikenal baik disegala usia maupun tingkat sosial masyarakat, dan mudah diperoleh di segala tempat, baik toko di pinggir jalan, supermarket maupun di restoran hotel berbintang.
Kerupuk udang adalah kerupuk yang bahannya terdiri dari adonan tepung dan udang. Kerupuk udang mempunyai beberapa kualitas bergantung pada komposisi banyaknya udang yang terkandung dalam kerupuk. Semakin banyak jumlah udang yang terkandung dalam kerupuk semakin baik kualitasnya. Kerupuk udang dibuat dengan bahan dasar tepung tapioka (gandum), dari bahan tersebut ditambahkan sejumlah udang segar atau udang kering dan bumbu seperti bawang putih, bawang merah, garam, gula, dan air.

Produksi Kerupuk Udang
Kerupuk udang yang diproduksi dibuat dengan bahan baku tepung tapioka, tepung terigu, udang, telur, garam, gula, dan bumbu. Tepung tapioka adalah tepung yang diperoleh dari ubi kayu segar (Manihot utilissima) setelah melalui cara pengolahan, dibersihkan dan dikeringkan. Tapioka yang digunakan dalam pembuatan kerupuk udang harus berwarna putih, bersih, kering, tidak bau apek, tidak masam, dan murni atau tidak mengandung benda asing.
Pada dasarnya baik udang segar/ udang kering dapat digunakan sbg bahan baku pembuatan kerupuk udang. Udang segar yang bisa digunakan untuk pembuatan kerupuk udang harus memiliki ciri-ciri warna transparan, tidak berbau, dan tidak berlendir. Sedangkan udang kering yang digunakan untuk pembuatan kerupuk udang adalah tidak berjamur, berbau khas dan tidak ada kristal di permukaannya.

Telur yang ditambahkan pada pembuatan kerupuk dimaksudkan untuk meningkatkan gizi, rasa dan bersifat sebagai pengemulsi serta pengikat komponen adonan. Pemberian gula dan garam dalam pembuatan kerupuk udang  berperan sebagai penambah cita rasa dan pengawet, sedangkan bumbu meningkatkan aroma dan cita rasa kerupuk.  Tahapan pembuatan kerupuk udang sangat sederhana, yaitu meliputi persiapan bahan, pembuatan bubur adonan, pembuatan dodolan, pengukusan, pengirisan, dan penjemuran.
Pengolahan kerupuk udang berkualitas ekpor yang dilakukan oleh perusahaan telah memanfaatkan teknologi dan berskala industri yang meliputi tahapan persiapan, processing, supply, potong dan tebar, pengeringan, sortasi, dan pengemasan.  Cara produksinya harus menerapkan sistem HACCP dan menerapkan sanitasi dan hygiene perusahaan/ pekerja.


Pengawasan mutu merupakan program atau kegiatan yang tak terpisahkan dengan dunia isndustri, yaitu usaha yang meliputi proses produksi, pengolahan dan pemasaran produk.  Dalam industri pangan modern, pengawasan mutu banyak menguunakan analisa mutu berdasarkan prinsip-prinsip ilmu dan teknologi yang makin canggih, namun disamping itu penilaian secara indrawi/organoleptik tetap dipertahankan.  Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu kerupuk udang antara lain adalah kadar air, volume pengembangan dan kemasan.



Kerenyahan kerupuk sangat ditentukan oleh kadar airnya.  Semakin banyak mengandung air, kerupk udang akan semakin kurang renyah.  Kadar air yang terikat dalam kerupuk sebelum digoreng sangat menentukan volume pengembangan kerupuk matang.

Prosentase kandungan tepung lebih banyak dibanding udangnya, maka daya kembang kerupuk akan semakin berkurang.  Sebaliknya bila perbandingan tepung dengan udang seimbang maka daya kembang kerupuk akan semakin besar.
Salah satu parameter mutu kerupuk goreng adalah volume pengembangan, sedangkan volume pengembangan dipengaruhi oleh kadar air kerupuk mentah dan suhu penggorengan.  Pengemasan berfungsi untuk melindungi produk dari pengaruh lingkungan dan untuk memberi pengaruh visual.  Selain itu pengemasan juga unuk mempermudah penanganan serta distribusi dan memperpanjang masa simpan produk yang dikemas. Terdapat hubungan antara kemasan dengan mutu produk yang dikemas.  Pengemasan  akan menjaga produk dari perubahan aroma, warna, testur yang dipengaruhi oleh perpindahan uap air dan oksigen.  Kemasan yang digunakan oleh perusahaan adalah kemasan primer dan sekunder, artinya pada kemasana primer, kerupuk dikeas dalam plastik, kemudian dimasukkan kedalam karton, dan “sring”.  Setelah kemasan selesai kemudian dimasukkan kedalam karton besar, pada kemasan bagian dalam dicantumkan kode produksi dan tanggal kadaluarsa sedangkan pada bagian luar dicantumkan tanggal produksi. Hal ini dimasudkan agar pada saat pengiriman dan pemasaran dapat menerapkan sistem FIFO (first in and out), barang yang telah dikemas kemudian disusun dalam gudang.
  
   Sumber : Penelitian Diana Nur Afifah, UNDIP Semarang.


Rabu, 05 Desember 2018

Membuat Probotik Sendiri


Membuat Probiotik Sendiri


2 kg gula pasir, 1 kaleng susu kental manis dan 1 kg tetes tebu diaduk menjadi satu, semua bahan pemanis itu lantas dicampur 0,5 liter biang bakteri Lactobacillus sp, nah itu lah probiotik buatan. Probiotik buatan sendiri tak kalah unggul produksi pabrik, saat diaplikasikan pada budidaya lele, diketahui tingkat kelulusan hidup (SR) Clarias sp itu mencapai 98% dari semula 80%, dan FCR (food conversion rasio) pun turun dari 1 menjadi 0,9-0,95. Ramuan itu perlu diencerkan dengan 30 liter air dan difermentasikan selama 2 hari, selanjutnya setiap 10 cc larutan probiotik diencerkan dengan 300 cc air sebelum dicampurkan pada 1 kg pelet.

Bahan pemanis yang digunakan berguna untuk tumbuh dan berkembang biak bakteri tersebut, jenis bahan pemanis seperti gula pasir, gula batu, gula merah atau jus buah-buahan bisa menjadi sumber nutrisi bakteri.

Pemberian probiotik memang membuat ikan lebih efesien menyerap nutrisi, sehingga masa pemeliharaan lebih singkat. Bibit bandeng berukuran 2-3 cm yang diberi probiotik dapat dipanen setelah 50 hari dengan bobot panen 90-100 gr/ekor. Kelebihan lain probiotik membuat tingkat kelulusan hidup naik dari 70% menjadi 97-98%, ini tak lepas dari peran probiotik yang dapat menstabilkan salinitas dan pH yang sesuai untuk budidaya Chanos chanos.

Yogurt, kefir dan dadih dapat dijadikan bahan baku probiotik, produk turunan susu tersebut kaya akan bakteri asam laktat seperti lactobacillus, streptococus, dan bifidobacterium, mereka memperbaiki fungsi saluran pencernaan sehingga penyerapan nutrisi lebih bagus.
Probiotik berbahan baku yogurt mudah dibuat, pertama buat larutan nutrisi untuk bakteri, caranya larutkan 50 gr molase, 100 cc susu murni, dan 50 gr jus kedelai pekat ke dalam 1 liter air. Campuran tersebut kemudian dipasteurisasi dengan cara merebus selama 30 menit, setelah dicampur rata, dnginkan, lalu tambahkan 100 cc biang bakteri yogurt, kefir atau dadih. Inkubasikan selama 48 jam dalam drum atau ember yang dilengkapi pompa sirkulasi akuarium, setelah itu starter siap digunakan, untuk memproduksi lebih banyak lagi tinggal menambahkan volume larutan nutrisi plus 10% starter, proses pembiakan dilakukan selama 2-5 hari dengan sistem agitasi pompa sirkulasi, untuk aplikasi disemprotkan langsung pada pelet atau disiramkan di kolam dengan dosis 1 liter per 80 m2 setiap 1-2 bulan.



Sumber : Majalah trubus Edisi 492-November 2010/XLI (Artikel : gandakanmahluk mini sendiri )

Cara pembuatan silase


Cara pembuatan silase


Pembuatan silase ikan, baik dalam skala kecil maupun skala besar dapat dilakukan dengan mudah dan murah. Adapun proses pembuatannya sangat sederhana, yaitu dengan mencairkan daging ikan dengan bantuan enzim, baik yang terdapat di dalam tubuh ikan itu sendiri, maupun yang dihasilkan oleh mikro-organisme tertentu, dan asam yang sengaja ditambahkan. Penambahan asama ini dimaksudkan untuk membantu menciptakan kondisi lingkungan yang memenuhi syarat dan terkontrol sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk maupun mikro-organisme lain serta dapat mempercepat proses pencairan daging ikan.

Berdasarkan bahan baku yang digunakan, pembuatan silase ikan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu ;

Bahan baku ikan mentah
Langkah pertama yang harus dilakuakn dalam pembuatan silase ikan adlah mencuci daging ikan yang digunakan sebagai bahan baku. Pencucian ini dimaksudkan untuk untuk membersihkan daging ikan dari kotoran maupun benda keras yang mungkin terdapat pada daging ikan, , terutama  bila bahan baku dari ikan diperoleh dari limbah pabrik pengalengan ikan. Pencucian sebaiknya dilakukan dengan air bersih yang mengalir. Setelah dicuci bersih, daging ikan dicincang sesuai dengan ukuran yang diharapkan, daging ikan kemudian digiling dengan alat penggiling daging sehingga lumat.
Ikan yang telah digiling halus dimasukan ke dalam sebuah wadah yang bersih untuk dibubuhi asam, untuk menghindari kerusakan karena korosi oleh asam sebaiknya digunakan wadah yang terbuat dari bahan plastik atau tanah. Tambahkan asam formiat berkadar 85% ke dalam wadah tersebut sebanyak 2-3 % dari berat total ikan yang akan diproses (jadi sekitar 3 liter untuk setiap 100 kg ikan). Tujuan untuk pemberian asam formiat adalah untuk menurunkan pH lingkungan dalam wadah hingga mencapai 4.5 atau lebih rendah lagi.  Selanjutnya ke dalam wadah tersebut ditambahkan pula asam propionat sebanyak 1% (1 liter untuk 100 kg ikan), tujuannya adalah untuk meningkatkan daya awet dari silase yang akan dihasilkan.


Bahan baku daging yang telah dibubuhi asam formiat dan propionat harus selalu diaduk agar keduanya benar-benar tercampur secara merata. Proses pengadukan dilakukan 3-4 kali sehari selama 4 hari pertama, sedangkan hari berikutnya cukup dilakukan pengadukan secara berkala. Bila semua langkah pengerjaannya dilakukan dengan benar, pada hari kelima telah tampak cairan yang berasal dari tubuh ikan, dengan demikian silase sudah dapat diberikan sebagai makanan ikan atau ternak. Bersamaan dengan timbulnya cairan yang berasal dari tubuh ikan, biasanya akan timbul pula cairan lemak yang ada segera dibuang karena jika dikonsumsi oleh ikan atau ternak dapat menimbulkan pengaruh kurang baik.

Untuk mendapatkan silase dalam bentuk kering, sebaiknya dilakukan penambahan karbohidrat (dedak, tepung kanji, tepung terigu, dsb) setelah dilakukan penambahan karbohidrat, silase dijemur hingga benar-benar kering. Produk silase yang telah dikeringkan dalam wadah yang bersih dan kering untuk kemudian digunakan sedikit sebagai makanan  ikan atau ternak. 

Bahan baku ikan telah dimasak   
Pross pembuatan silase dengan bahan baku ini sama seperti pada pembuatan silase dengan bahan baku ikan mentah, pertama ikan yang akan diolah dicuci dahulu dengan air bersih, kemudian dipotong kecil-kecil dan dicincang sampai halus, hasil cincangan selanjutnya digiling hingga lumat.
Gilingan daging ikan dimasukan ke dalam wadah yang bersih, kemudian direbus. Tabahkan sedikit air ke dalam wadah tersebut agar ikan tidak menjadi hangus, terutama ikan didasar wadah jumlah air yang ditambahkan tidak terlalu banyak, cukup setinggi 0,5-1 cm dari dasar wadah. Setelah direbus, tambahkan asam formiat dan propionat 1% dari berat total ikan yang akan diolah , langkah pengerjaan selanjutnya sama seperti pada pembuatan bahan baku ikan mentah.


Sumber : Bulletin Co-Fish No.2 - November 2002 (Artikel : Cara Pembuatan Silase, Hal. 8-10 )


Membesarkan Lobster Di Luar Habitat Asli ?


Membesarkan lobster di luar habitat asli ?


Peluang membesarkan anakan lobster (fattening) di luar habitat aslinya sangat besar dan belum banyak dilirik oleh pembudidaya. “beberapa tahun ini disinyalir telah terjadi penurunan populasi lobster di alam,” kata peneliti udang yang kini menjadi Kepala Unit Pelaksana Teknis Loka Pengembangan Bio Industri Laut (UPT-LPBIL) LIPI di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Penurunan itu tampak dari ukuran lobster hasil tangkapan nelayan. Di Perairan Selatan Jawa seperti Banyuwangi, Pacitan dan Pangandaran, pada musim penangkapan lobster sekitar bulan Nopember sampai Januari, lebih banyak diperoleh anakan lobster yang belum layak jual karena bobot tubuhnya kurang dari 100 gr/ ekor.

Tidak sulit merawat lobster di luar habitat aslinya, agar anakan lobster nyaman pada dasar kolam misalnya ditaruh karang meniru habitat aslinya. Untuk mencegah kanibalisme saat anggota keluarga Palunuridae itu berganti kulit, dasar kolam diberi tanaman air seperti red grass. Sejatinya anakan lobster memerlukan tempat berlindung, di alam pada awal perkembangan hidupnya, udang karang bersifat bentik dan hidup merayap. Anakan udang secara naluriah selalu mendekati sebuah benda yang dapat digunakan untuk melindungi diri dari predator, meski demikian sifat itu akan hilang sejalan lobster tumbuh dewasa, artinya peluang terjadinya kanibalisme menjadi kecil, berbeda dengan lobster air tawar yang hingga besar pun tetap memiliki sifat kanibalisme tinggi.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI nomor 1 tahun 2015 tentang penangkapan lobster, kepiting dan rajungan, dimana penangkapan lobster dapat dilakukan pada lobster yang berukuran diatas 8 cm dan tidak boleh menangkap lobster dalam kondisi bertelur, hal ini menjadi peluang pembudidaya untuk menangkap peluang tersebut apalagi diketahui komoditi lobster merupakan komoditi unggulan dengan pasar yang tersedia dan harga yang tinggi.
Oleh karena dipelihara di kolam, sistem filterisasi menjadi penting memikai 3 filter untuk menyaring kotoran. Pada filter pertama ditaruh pasir, filter kedua ditaruh karang-karang kecil dan filter terakhir yang menjadi sumber air tidak diberi material, tetapi menampung limpahan air dari filter ke 2 yang masuk melalui pancuran. Hal itu dilakukan untuk menaikan kadar oksigen terlarut sebelum air dialirkan kembali ke kolam. Kualitas air untuk ikan laut budidaya harus bagus, rata-rata salinitas 30-32 ppt, pH diatas 7 dan kadar oksigen berkisar 5-8 ppm, diluar angka tersebut pertumbuhan akan terganggu.


Salinitas atau kadar garam memang kunci keberhasilan pembesaran ikan laut di darat, sejatinya lobster Panulirus spp merupakan penghuni karang yang hidup pada kedalaman 3-10 m di bawah laut dengan salinitas 30-32 ppt.  Beberapa udang karang seperti jenis bambu dan pasir dapat hidup dibawah salinitas normal atau payau sekitar 28 ppt, itu lantaran kedua lobster tersebut banyak ditemukan di Pantai Selatan Jawa yang kerap mencari makan di daerah pantai.
  
Pembesaran lobter dilakukan di ruangan tertutup atau kolam beratap agar salinitas terkontrol, perubahan iklim mempengaruhi naik-turunnya salinitas. Di musim hujan, salinitas kolam yang kemasukan air hujan bakal turun sekitar 2-3 ppt, supaya normal perlu ditambahkan garam ikan. Sebaliknya dimusim kemarau salinitas naik karena air kolam menguap lalu garam menumbuk sehingga konsentrasi lebih pekat, untuk mengatasinya pengenceran memakai air tawar. Lobster merupakan tipe euryhalin, memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan salinitas. Toleransi itu terjadi karena lobster punya mekanisme osmoregulasi yang mengatur keluar masuknya cairan dan ion tubuh melalui insang ginjal dan usus. Sensor tentkel di kepala akan mengirim sinyal atau pesan ke otak ketika terjadi perubahan salinitas, pesan tersebut direspon dalam bentuk keluar cairan dan ion tubuh ketika salinitas turun. Jika dibiarkan kondisi itu mengakibatkan lobster dehidrasi sehingga tubuhnya lemas dan lobster malas makan, sebalinya salinitas tinggi membuat lobster menyerap air kolam.

Penyesuaian terhadap perubahan salinitas membutuhkan energi besar, lobster bakal mengambil energi yang seharusnya dipakai untuk pertumbuhan. Akibatnya pertumbuhan tidak optimal, waktu pembesaran lebih lama. Yang tak kalah pentingnya adalah oksigen terlarut (DO), tinggi rendahnya DO tergantung tingkat kepadatan lobster, lobster akan tumbuh optimal dengan DO berkisar 4-5 mg/L dengan kepadatan 15-20 ekor/m2. DO dapat ditingkatkan dengan menambah aerasi berupa air pancuran dari pipa berlubang atau memberikan arus kuat yang didorong oleh pompa berkekuatan 100 watt dalam bak filter. Diluar itu suhu kolam dalam ruangan harus stabil, sekitar 25-280C, kadar pH pun diatur 7-8, keasaman dibawah netral menyebabkan lobster rentan terserang bakteri dan cendawan.

Sumber : Majalah trubus Edisi 488-Juli 2010/XLI (Artikel : Lobster laut ke darat & salinitas kuncinya)